PRESUPPOSISI, ASORSI, INFERENSI,
INFORMASI LAMA DAN BARU DALAM KONTEKS WACANA
Tugas Mata Kuliah Analisis Wacana
Dosen Pengampu
Prof. Dr. Hj. Ratu Wardarita, M.Pd
Dra. Yenny Puspita, M.Pd
Oleh:
Puthut Gunawan
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN 2011
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak
pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang
lengkap sehingga dalam satuan hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi diatas satuan kalimat. Sebagai
satuan tertinggi yang lengkap maka dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan,
pikiran, atau ide yang utuh yang bisa
dipahami tanpa keraguan apa pun (Chaer, 2007:62).
Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan
dapat bersifat transaksional atau interaksional yang digunakan untuk berkomunikasi
dalam konteks sosial. Untuk dapat memahami suatu wacana, mungkin tidak
cukup hanya mengkajinya dari sisi struktur kalimat saja, namun memerlukan
berbagai hal dan segi untuk menginterpretasi suatu wacana agar mendapat
pemahaman yang lengkap dan utuh dari wacana tersebut.
Kajian
linguistik rupanya belum memuaskan. Banyak permasalahan bahasa yang belum dapat diselesaikan. Akibatnya, para
ahli mencoba untuk mengembangkan disiplin kajian baru yang disebut analisis
wacana. Analisis wacana menginterpretasi makna sebuah ujaran dengan
memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Menurut Lubis
(2011:59) arti atau makna dari sebuah kalimat sebenarnya barulah dapat
dikatakan benar bila kita ketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, bila
diucapkan dan lain-lain.
Bahasa
merupakan alat pertukaran informasi, namun kadang kala informasi yang
dituturkan olah komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu setiap
manusia harus dapat memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan
tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan
oleh si penutur tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut (http://firdamustikawati.blogspot.com/2010/06/implikatur-praanggapan-dan-inferensi.html).
Kita menggunakan bahasa dalam
kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa
konteks, tanpa hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat,
maka kita sulit berkomunikasi dengan tepat satu sama lain (Tarigan, 2009:23).
1.2 Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1) Apakah yang dimaksud dengan konteks?
2) Apakah yang dimaksud dengan presupposisi dalam konteks wacana?
3) Apakah yang dimaksud dengan asorsi dalam konteks wacana?
4) Apakah yang dimaksud dengan inferensi dalam konteks wacana?
5) Apakah yang dimaksud dengan informasi lama
dan baru dalam konteks
wacana?
1.3 Tujuan
Bertolak dari rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan :
1)
pengertian konteks,
2) presupposisi
dalam konteks wacana,
3) asorsi dalam konteks wacana,
4)
inferensi dalam konteks
wacana,
5)
informasi lama dan baru dalam konteks wacana.
II. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Konteks
Berbicara
tentang wacana selalu berkaitan dengan konteks, seperti dikatakan oleh
Kridalaksana dalam Darma (2009:4) bahwa konteks merupakan ciri-ciri alam di
luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana (lingkungan
nonlinguistik dari wacana).
Konteks
adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau
situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan
dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks
yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan
depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif. Konteks
ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks
ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka
topik, latar, saluran, dan kode.
Partisipan
adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi
berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar
adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah
ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah
bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana (http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia).
Senada
dengan hal tersebut, Moeliono & Soenjono Dardjowidjojo dalam Djajasudarma
(2010:27) menyatakan bahwa konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk
amanat, kode, dan saluran.
Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat
tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks
linguistik ataupun konteks ekstralinguistik (http://wawan-
junaidi. blogspot.com /2010/03/konteks-wacana-bahasa-indonesia.html).
Konsep konteks mencakup pula dunia sosial dan psikologis yang
dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Hal tersebut melibatkan keyakinan dan praduga
pemakai bahasa terhadap latar temporal, sosial, spasial, aksi, serta tingkat
pengetahuan dan kepedulian dalam
interaksi sosial (Djajasudarma, 2010:55).
Oleh
karena itu, apapun bentuk dan sifat wacana yang dipergunakan, pengguna bahasa
harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan
menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa
senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa baik konteks linguistik maupun
konteks ekstralinguistik.
2.2 Presupposisi dalam Konteks Wacana
Presuposisi
atau praanggapan berasal dari kata to
pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya
tentang lawan bicara atau yang dibicarakan.
Sebenarnya,
praanggapan (presupposition) ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah,
khususnya tentang hakekat rujukan (apa-apa, benda/keadaan, dan sebagainya) yang
dirujuk atau dihunjuk oleh kata, frase, atau kalimat dan ungkapan-ungkapan
rujukan (Nababan melalui Lubis, 2011:61).
Praanggapan (presupposition) adalah
cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat
atau tambahan makna dari makna yang tersurat (http://pribadiuntuksemua.blogspot.com/2010/11/analisis-wacana.html).
Praanggapan terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
2.2.1 Praanggapan Semantik
Praanggapan semantik adalah praanggapan
yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau
kosakatanya.
Contoh: Bu
Evi tidak jadi berangkat kuliah. Anak
bungsunya demam.
Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat
ditarik praanggapan sebagai berikut :
- Bu Evi seharusnya berangkat kuliah.
- Bu Evi mempunyai beberapa anak.
2.2.2 Praanggapan Pragmatik
Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang
ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan.
Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain.
Contoh
praanggapan pragmatik : “Harganya murah benar”, sebagai jawaban pertanyaan,”
Berapa harganya?”
Praanggapan
tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah”
itu berarti “mahal sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan
oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan.
Untuk melihat perbedaan antara praanggapan
semantik dengan praanggapan pragmatik, dapat dilihat dalam contoh berikut ini.
Suatu hari
pak Zau bertamu ke rumah pak
Munir. Keduanya bercakap-cakap sambil merokok dan minum kopi. Ketika sudah
habis sebatang rokok, pak Zau memegang kotak tempat rokok pak Munir dan sambil
mengamati kotak kayu yang sudah kosong itu berkata.
Pak Zau :“ Alangkah
bagus kotak rokok ini, dimana pak Munir beli?“
Sambil mencabut dompet yang kempes dari kantongnya,
pak Munir berkata.
Pak Munir :“ Kotak itu kubeli bersama dompet
ini tempo hari.“
Pak Zau :“Oooh“.
Praanggapan
semantik kalimat pak Zau itu adalah: Pak Munir telah membeli sebuah kotak rokok
yang bagus.
Namun
secara pragmatik praanggapan itu tidaklah demikian. Praanggapan yang telah
ditentukan oleh konteks itu adalah sebagai berikut. Sebenarnya, pak Zau ingin
merokok lagi, tetapi rokok sudah habis terlihat kotak rokok sudah kosong.
Sebenarnya pak Zau ingin minta rokok.
Jadi
praanggapannya adalah:
a. Pak Zau meminta sesuatu.
b. Pak Zau mengatakan sesuatu.
Pak
Munir yang paham akan kalimat pak Zau, tidak menjawab di mana kotak rokok itu
dibelinya, tetapi menunjukkan isi dompetnya yang lagi kempes, yang berarti lagi
tidak punya uang.
Jadi praanggapannya adalah: Pak Munir mengatakan
tentang uang. Dari uraian contoh tersebut jelas bahwa sangat berbeda antara praanggapan
semantik dengan praanggapan pragmatik.
Suatu
kalimat A berpraanggapan semantik, jika :
a.
Dalam semua keadaan dimana A benar, maka B juga benar.
b.
Dalam semua keadaan dimana A tidak benar, maka B
(tetap) benar.
Perbedaannya
dengan praanggapan pragmatik adalah pada praanggapan semantik hubungan
antarkalimat, sedangkan pada praanggapan pragmatik adalah hubungan antarpernyataan
( Lubis, 2011:63).
Teori
praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran
dan pengetahuan bersama. Bila praanggapan dapat ditarik dari pernyataan itu
melalui leksikonnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan semantik. Bila
hanya dapat ditarik melalui konteksnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan
pragmatik.
2.3 Asorsi dalam Konteks Wacana
Kalau
praanggapan adalah dasar pembicaraan si pembicara, asorsi adalah pikiran si
pembicara tentang praanggapan itu. Kalimat bahwa Ali mabuk dan Ibu Ali
masih hidup. Sesuatu yang hendak diterangkan oleh si pembicara itu ialah
tentang “mabuknya Ali itu”, yaitu mengejutkan ibunyalah pada kalimat itu yang
jadi asorsi.
Begitu juga
kalimat “Tidak aneh dia setuju” praanggapannya
“dia setuju”, asorsinya adalah “ tidak aneh” ( Lubis, 2011:69).
Kalau
contoh wacana pak Zau dan pak Munir di atas dibuat bagannya, akan diketahui
sebagai berikut:
Kalimat: “ Alangkah bagus kotak rokok
ini, dimana pak Munir beli?“
Praanggapan
|
Asorsi
|
||
Semantik
|
Pragmatik
|
Semantik
|
Pragmatik
|
Pak Munir telah membeli sebuah kotak rokok
|
Pak Zau meminta sesuatu
|
di mana
|
uang
|
Kalimat: ” Kotak itu kubeli bersama dompet ini tempo
hari“.
Praanggapan
|
Asorsi
|
||
Semantik
|
Pragmatik
|
Semantik
|
Pragmatik
|
Kotak rokok telah dibeli
|
Pak Munir
mengatakan tentang uang
|
bersama dompet
|
sedang tidak punya
uang
|
2.4 Inferensi
(implikatur) Dalam Konteks Wacana
Menurut Lubis (2011:70) bahwa implikatur adalah
arti atau arti aspek pragmatik. Dengan
demikian, hanya sebagian saja dari arti literal (harfiah) itu yang turut
mendukung arti sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari
fakta-fakta di sekeliling kita (dunia ini) situasinya, kondisinya.
Selanjutnya
Lubis (2011:70), mengatakan bahwa inferensi pembicaraan (percakapan) menurut
term saya adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks.
Dengan itu, si pendengar dalam percakapan menduga kemauan si pembicara, dengan
itu pula si pendengar memberikan responnya.
Konsep
tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P. Grice (1967) untuk
memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan
teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan
yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep
implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan
perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang
diimplikasi”. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat
dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan
suatu maksud tertentu
(http://firdamustikawati.blogspot.com/2010/06/implikatur-praanggapan-dan-inferensi.html).
Dari
uraian diatas dapat dikatakan bahwa inferensi (implikatur) adalah proses yang
harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara
harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau
penulis.
Penggunaan
implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak
memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai
pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan,
menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tidak menyinggung
perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur
harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan
terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya.
Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur
terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi
nasihat, menegur dan lain-lain.
Oleh
karena itu, apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis tidak seluruhnya
dapat ditangkap oleh pendengar atau pembaca, hal ini terjadi karena tingkat kompetensi
pembicara atau penulis dapat mempengaruhi tingkat pemahaman pendengar atau
pembaca.
Lubis (2011:70) mencontohkan, percakapan
antara A dan B, yang menceritakan pertemuan A dengan teman lamanya yang bernama
C.
A : ”Saya baru bertemu dengan si C yang sudah 10
tahun tak berjumpa”.
B : ”O, si C yang kawan kita di SMA itu?”
A : ”Bukan, tapi si C yang kawan kita di SMP
dulu.”
B : ”Coco, yang gemuk-gemuk orangnya?”
A : ”Bukan, itu si C gemuk, ini si C yang
kurus-kurus orangnya”
B : ”O, yah, saya tahu.”
Dalam
ucapan pertama, si B salah tanggap. Yang tergambar di pikirannya adalah si C
teman di SMA. Sesudah diterangkan oleh si A, si C itu teman di SMP, si B salah
tanggap lagi karena yang dibayangkannya si C yang gemuk. Sesudah kalimat ketiga
si A, baru si B paham benar, siapa si C itu sebenarnya. Walaupun tanggapan
tentang si C sudah jelas, tetapi apa yang dipikirkan oleh si A tidaklah dapat
ditanggapi oleh si B seluruhnya karena masih banyak hal-hal yang masih
tersembunyi disana. Umpamanya: bila bertemu, bagaimana cara bertemu, dan di
mana bertemu.
Hal-hal
ini tidak tergambar dari kalimat-kalimat yang diucapkan si A, dan karena
mungkin si B tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, hal itu tidak
ditanyakannya kepada si A.
Menurut
Lubis (2011:72), pengetahuan kita tentang gramatikal dan leksikal saja tidak
cukup mengartikan sebuah kalimat dengan benar. Itu hanya beberapa faktor saja.
Oleh
karena itu maka pemahaman tentang konsep
implikatur menjadi sangat berguna dalam menginterpretasi dan memahami suatu wacana.
Levinson
dalam Lubis (2011:73) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu:
a. Dapat
memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau
oleh teori linguistik.
b. Dapat
memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari
yang dimaksud si pemakai bahasa.
c. Dapat
memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa
yang dihubungkan dengan kata penghubung
yang sama.
d. Dapat
memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak
berkaitan, malah berlawanan (seperti
metafora).
2.5 Informasi Lama dan Baru dalam Konteks Wacana
Tiap-tiap kalimat mempunyai inferensinya.
Tiap-tiap kalimat pasti ada sesuatu yang
telah diketahui si pendengar. Praposisi adalah informasi yang telah diketahui
oleh pembicara dan pendengar. Sesuatu yang telah diketahui oleh pembicara/ pendengar
itu dinamakan informasi ( Lubis, 2011:81).
Contoh:
Pada kalimat: Anak-anak sakit. Maka informasi lamanya adalah anak-anak dan
informasi barunya adalah keadaan informasi lama itu, yaitu sakit.
Pendapat kebanyakan ahli selain Halliday
(dalam Lubis, 2011:82)
menyatakannya dengan given yang merupakan bagian ujaran yang dapat
diketahui dari : (1) wacana yang telah lewat (anafora/implikatur), (2) berbagai
aspek situasi tempat ujaran itu terjadi, dan (3) pengetahuan kita sendiri. New
adalah bagian ujaran yang tidak dapat diketahui dengan cara itu.
Dengan
kata lain, given adalah sesuatu yang dapat kita ketahui secara anaforik
atau dari situasinya. Given new itu bukan per wacana, tetapi per kalimat,
yang ditentukan oleh intonasi atau tekanan yang diberikan si pembicara.
Hubungan
antara informasi lama-baru dengan subjek, yaitu ; subjek digunakan untuk
struktur luar kalimat, sedangkan informasi lama-baru ini adalah struktur
semantiknya ( Lubis, 2011:85).
Contoh : (1) Saya
menulis surat, (2) Yang menulis surat saya, (3) Surat saya tulis,
(4) Yang saya tulis surat, (5) Siapa namanya, (6) Kemana kau pergi? (7)
Bagaimana hasilnya? (8) Tulislah surat itu? (9) Bacalah Koran itu ! (10)
Ikutilah ujian itu ! (11)
Berangkatlah (kau) sekarang!
Kesebelas kalimat ini yang terdiri dari
empat buah kalimat berita (1-4) empat
buah kalimat tanya (5-8) dan empat buah kalimat perintah (9-11) mempunyai subjek.
Semua subjek pada kalimat yang sebelas ini adalah informasi lama, sedangkan predikatnya
adalah informasi baru.
III. SIMPULAN
Wacana merupakan satuan bahasa di atas
tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial,
sehingga untuk memahaminya tidak cukup melalui kajian struktur kalimat
pembentuk wacana saja, tetapi juga melalui pengkajian terhadap konteks wacana
dan hal-hal yang berkaitan dengan konteks seperti praanggapan, asorsi,
inferensi (implikatur), serta informasi lama dan baru.
Konteks
adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau
situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan
dapat pula berupa konteks ekstralinguistik.
Praanggapan (presupposition) adalah
cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat
atau tambahan makna dari makna yang tersurat. Sedangkan asorsi adalah
pikiran si pembicara tentang praanggapan.
Inferensi adalah proses yang harus
dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah
tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Tiap-tiap kalimat mempunyai inferensinya.
Tiap-tiap kalimat pasti ada sesuatu yang yang telah diketahui si pendengar.
Praposisi adalah informasi yang telah diketahui oleh pembicara dan pendengar.
Sesuatu yang telah diketahui oleh pembicara/ pendengar itu dinamakan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa
(Struktur internal, Pemakaian dan Pemelajaran), Jakarta: Rineka Cipta.
Darma,Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:Yrama
Widya.
Djajasudarma, T.Fatimah.
2010. Wacana (Pemahaman dan Hubungan
Antar Unsur),Bandung:Refika Aditama.
Lubis, A. Hamid Hasan.
2011. Analisis Wacana Pragmatik.
Bandung:Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2009.
Pengajaran Wacana. Bandung:Angkasa.
inferensi.html,
Diakses 9 Oktober 2011.
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/03/konteks-wacana-bahasa-indonesia.html
,
Diakses 9 Oktober 2011.
Diakses 9 Oktober 2011.
Diakses 9 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar