BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa
diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa atau pun negara dalam
menyelenggarakan Pendidikan Nasional.
Pendidikan dalam konteks upaya
merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang
dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara
agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan
fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan
kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa.(http://formmit.org/social/224-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-a-gagasan-based-syaria-education.html diakses tanggal 8 April 2011).
Amanat konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dinyatakan dalam UUD 1945 dengan tegas dan jelas memposisikan pendidikan
nasional pada posisi strategis sebagai instrumen perjuangan bangsa yang tidak
hanya berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa tapi membangun bangsa, peradaban
bangsa, nilai-nilai moral dan semangat berjuangan bangsa untuk mempertahankan
eksistensi bangsa dan negara. Salah satu amanat UUD 1945 kemudian diatur lebih
lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan perkembangan
zaman, maka timbul permasalahan-permasalahan pendidikan yang kompleks. Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di
Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan
mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan
bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan pendidikan
muncul dan berkembang seperti rendahnya kualitas pendidikan secara umum, masalah anggaran
pendidikan, tidak meratanya kesempatan pendidikan,
dan mahalnya biaya pendidikan.
Lebih khusus lagi, problematika juga terjadi pada profesi keguruan yang merupakan
ujung tombak dunia pendidikan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi
antara lain rendahnya kualitas guru, tidak profesional dalam melaksanakan tugas
keguruan , kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, dan tingkat
kesejahteraan guru yang relatif masih rendah.
Permasalahan pendidikan adalah
suatu masalah yang sangat kompleks. Apabila ditelaah lebih
jauh, maka kita akan menemukan sekumpulan hal-hal rumit yang sangat susah untuk
disiasati. Masalah yang dihadapi
tersebut akan lebih susah jika saling berkait satu sama lain (http://isaninside.files.wordpress.com. diakses tgl. 8 April 2011).
Banyaknya permasalahan yang
timbul dalam dunia pendidikan merupakan
suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh seluruh komponen anak bangsa.
Permasalahan pendidikan merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Hal inilah
yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan kajian problematika pendidikan di
Indonesia yang merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan kualitas dan
mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara
lain.
B. Masalah
Masalah akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Apa sajakah permasalahan pendidikan dan keguruan di Indonesia?
2.
Bagaimanakah solusi dalam menghadapi berbagai
problematika pendidikan di Indonesia?
C.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia, memahami berbagai problematika
keguruan di Indonesia, mengetahui usaha untuk mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia, serta
untuk mengungkap berbagai solusi dalam menghadapi berbagai problematika
keguruan di Indonesia, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Profesi
Keguruan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berbagai Permasalahan Pendidikan
di Indonesia
UUD
1945 mengamanatkan
pendidikian sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas handal yang dapat
membangun bangsa dan negara yang akan bermuara pada tingkat kehidupan yang
layak dan sejahtera serta mampu berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman dan teknologi.
Dalam upaya mengemban amanat
tersebut, bangsa Indonesia menghadapi berbagai persoalan yang muncul
silih berganti melanda dunia pendidikan nasional, baik yang berskala mikro
maupun yang makro. Persoalan
pendidikan di Indonesia adalah persoalan yang rumit, yang dimaksud di sini
mengandung banyak macam problematika.
Indonesia saat ini berada dalam situasi transisi dari era sentralisasi
ke era desentralisasi, upaya pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan dan
evaluasinya yang dulu dilakukan secara terpusat oleh aparat pemerintah pusat,
sekarang didistribusikan secara desentralisasi ke daerah-daerah. Demikian juga
halnya urusan pendidikan, terjadi perubahan paradigma yang dulunya sarwa Negara
(state driven) kini mulai berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting
customers first). Sistem dan proses pendidikan melakukan repositioning (Uno,
2011:6). Situasi dan kondisi yang demikian jelas akan menimbulkan banyak sekali
problematika yang cukup kompleks, antara lain:
1. Rendahnya Kualitas
Pendidikan Secara Umum
Salah satu permasalahan esensial
pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan
pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini
dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Menurut Kusnandar (2010:1)
kualitas pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal
ini bisa dilihat dari berbagai indikator.
a. Lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum
siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Menurut
pengamat ekonomi Dr. Berry Priyono, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga
pendidikan tidak memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang dipelajari
di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori sehingga peserta
didik kurang kreatif dan inovatif (Kompas,
4 Desember 2004).
b. Berdasar hasil penelitian
tentang Human Development Index (HDI)
yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, saat ini kita berada pada peringkat 110 dari
174 negara yang diteliti. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti
Malaysia, Filipina, Thailand dan apalagi dengan Cina kita jauh tertinggal. Hal
ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh
posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif.
c. Laporan Internasional Education Achievement (IEA) bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang
disurvei.
d. Mutu akademik antar bangsa melalui
Programme Student Assesment for International (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang
disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk
bidang Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39.
e. Laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada diposisi 46 dari 47 negara
yang disurvei.
f. Posisi perguruan tinggi
Indonesia yang dianggap favorit, seperti UI dan UGM hanya berada pada posisi 61
dan 68 dari 77 pergurua n tinggi di Asia.
Lebih memprihatinkan lagi
dengan data Kemenpora yang menyatakan bahwa sebanyak 37,06 % pemuda Indonesia hanya lulus SD. Dari 127 juta
penduduk Indonesia jumlah pemuda diperkirakan 97 juta orang, dengan asumsi pemuda
adalah mereka yang berusia 15 – 35 tahun. Dengan kondisi tersebut, sulit
mengharapkan mereka menjadi agen perubahan sosial, sebagaimana yang diharapan
masyarakat luas (Media Indonesia, 22 Desember 2005).
2. Masalah Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan memiliki
peran penting untuk bisa tercapainya cita-cita atau tujuan pendidikan dapat
tercapai. Sejak dahulu pemerintah baru sekedar memberikan janji untuk
meningkatkan anggaran pendidikan, namun itu masih sebatas gembar-gembor. Sekali
lagi persoalan anggaran pendidikan juga seharusnya tidak ada perbedaan antara
negeri dan swasta, sekurang-kurangnya kesenjangan jangan terlalu jauh. Anggaran
pendidikan sangat berpengaruh besar pada proses penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas dan bermoral, termasuk juga profesionalisme guru.
Guru selama ini dituntut untuk
berkhidmat secara sempurna dalam melahirkan anak-anak berkualitas. Dengan
rendahnya anggaran pendidikan membuat penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu
menjadi rendah. Guru itu merupakan sosok manusia yang sangat disiplin
menjalankan tugasnya. Mereka juga sosok yang memiliki pengetahuan yang lebih
bila dibandingkan dengan pegawai-pegawai lainnya, demikian halnya kepribadian
guru adalah suri tauladan yang baik, tetapi tak dapat dipungkiri gaji guru
sangat rendah dibandingkan dengan karyawan lainnya.
Fenomena gaji guru Indonesia sangat
jauh tertinggal bila dibanding dengan negeri tetangga. Gaji seorang profesor di
Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding di negara lain. Belum lagi usia
pensiun seorang profesor di Indonesia berbeda dengan karyawan lainnya, mereka
baru memasuki pensiun di usia 70 tahun. Apalagi kalau kita perhatikan
kesejahteraan guru-guru di tingkat bawah, lebih-lebih para guru swasta. Mereka
sangat mengalami kesusahan secara material. Akibatnya tentu saja sangat
berpengaruh dengan tingkat profesionalisme dan kesuritauladannya.
Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU
No.20/2003 pasal 49 dinyatakan bahwa
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari
APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan
skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari
APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat
menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah
yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan
asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun
atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan
kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan
anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada
tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per
tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 %
(2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan
anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1
% pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8
persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp
763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
3.
Masalah
Sarana Pendidikan
Pendidikan
untuk semua juga masih dalam batas tataran janji. Sejak orde baru telah
dicanangkan program pendidikan untuk semua melalui program wajib belajar
(wajar). Dengan wajar, maka diharapkan tak ada lagi masyarakat Indonesia yang
tak pernah menyelesaikan pendidikan dasarnya. Program wajib belajar membebaskan
anak didik dari kewajiban membayar uang sekolah. Istilah populernya sekolah
gratis. Dalam kenyataannya, ternyata tak ada yang tanpa biaya. Justru biaya
sekolah SD semakin mencekik, hingga sekarang di era pasca reformasi, biaya sekolah
dasar tak ada yang gratis,apalagi sekolah menengah, lebih-lebih perguruan
tinggi, semuanya bisa dikatakan mahal.
Tidak jarang biaya yang dikeluarkan orang tua yang anaknya sekolah di SD negeri bisa sama dengan yang di SD swasta, bahkan ada kecenderungan sekarang ini lembaga pendidikan negeri dengan alasan swastanisasi, biaya sekolah lebih mahal dari sekolah swasta. Komitmen pemerintah memang masih dalam batas lip service. Harian Republika mengutip bagaimana komitmen pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, maupun Singapura terhadap pendidikan dasar dan menengah. Belum lagi persoalan gedung-gedung SD dan SMP, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Tak sedikit gedung sekolah yang hancur, bukan saja yang jauh dari ibukota negara, bahkan di Jakarta sendiri banyak gedung sekolah rusak belum diperbaiki. Lalu bagaimana pula dengan gedung-gedung sekolah yang rusak dan hancur karena bencana?
Tidak jarang biaya yang dikeluarkan orang tua yang anaknya sekolah di SD negeri bisa sama dengan yang di SD swasta, bahkan ada kecenderungan sekarang ini lembaga pendidikan negeri dengan alasan swastanisasi, biaya sekolah lebih mahal dari sekolah swasta. Komitmen pemerintah memang masih dalam batas lip service. Harian Republika mengutip bagaimana komitmen pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, maupun Singapura terhadap pendidikan dasar dan menengah. Belum lagi persoalan gedung-gedung SD dan SMP, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Tak sedikit gedung sekolah yang hancur, bukan saja yang jauh dari ibukota negara, bahkan di Jakarta sendiri banyak gedung sekolah rusak belum diperbaiki. Lalu bagaimana pula dengan gedung-gedung sekolah yang rusak dan hancur karena bencana?
Hal yang lain menyangkut sarana dan prasarana belajar. Persoalan buku umpamanya, ini juga menjadi masalah yang akhirnya menjadi beban masyarakat. Tiap tahun buku pelajaran berganti, biaya sekolah menjadi sangat mahal, yang akhirnya menyulitkan bagi orang tua. Berbeda dengan zaman dulu, di mana pemerintah punya kepedulian terhadap pengadaan buku pelajaran. Anak-anak didik mendapat buku tersebut secara cuma-cuma, atau sekurang-kurangnya mendapat pinjaman. Tiap sekolah memiliki perpustakaan yang lengkap, sehingga murid-murid dapat memanfaatkan dan membaca buku di perpustakaan. Laboratorium merupakan bagian dari sarana yang sangat menunjang kualitas pendidikan.
Realisasinya, tidak semua sekolah di negeri ini memiliki sarana laboratorium yang memadai. Yang prinsip atau yang primer saja persoalan sarana ini belum semua dapat terealisir, apalagi sarana lain yang merupakan penunjang, seperti halnya sarana olah raga, kesenian, dan lain sebagainya, tidak semua lembaga pendidikan di Indonesia dapat melengkapinya. Belum lagi dalam masalah perkembangan teknologi, seperti pemanfaatan komputer dan internet, hampir di sekolah-sekolah kita tidak ada yang memilikinya terutama sekolah-sekolah di daerah pedalaman kondisinya masih jauh dari dikatakan layak.
B. Problematika Keguruan di
Indonesia
Dunia pendidikan
nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu
kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering
dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas
pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat
banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas
pendidikan.
Namun juga tidak terlalu salah, sebab guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Yang menjadi permasalahan keguruan di Indonesia itu antara lain:
Namun juga tidak terlalu salah, sebab guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Yang menjadi permasalahan keguruan di Indonesia itu antara lain:
1.
Rendahnya
Kualitas Guru
Menurut
Kusnandar (2010:41) realitas menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai
masih rendah. Data Balitbang Depdiknas
(1999) menunjukkan dari peserta tes guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi
ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru Biologi rata-rata
skornya hanya 44,96; dari 396 calon guru Kimia ketika dites Kimia rata-rata
skornya hanya 43,55; dari 7.558 calon guru Bahasa Inggris ketika dites Bahasa Inggris rata-rata skornya
hanya 37,57 ; dari 7.863 calon guru Matematika ketika dites Matematika
rata-rata skornya hanya 27,67 dan dari 1.164
calon guru Fisika ketika dites
Fisika rata-rata skornya hanya 27,35.
Data Balitbang
Depdiknas (2001) menunjukkan bahwa guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai
layak mengajar hanya 38 % dari 1.141.168 guru se-Indonesia. Begitu juga untuk jenjang menengah, jumlah
guru yang dinilai layak mengajar dibawah 70 % (Kompas, 25 Januari 2004).
B. Uno (2011:135) menguraikan bahwa guru merupakan titik sentral yang strategis
dalam kegiatan pendidikan. Disamping
khusus diangkat untuk mengajar dan mendidik, guru dibebani tugas sebagai pelaku
pembaruan. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan mengajar menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal, kondisi guru-guru yang ada sekarang
cenderung masih memprihatinkan. Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya
kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa,
dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh
penguasaan guru bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa
persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup menguasai materi
bidang studinya) relatif sedikit (38,96%) dibandingkan dengan mereka yang
mendapat nilai kurang dari enam (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan kondisi guru di Jakarta tersebut, dapat
dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerah tentunya lebih memprihatinkan.
2.
Tidak
Profesional Dalam Melaksanakan Tugas Keguruan
Profesionalisme guru juga sangat berkaitan
dengan kompetensi seorang guru. Adalah sangat tidak layak bila seorang guru
tingkat dasar mengajar dengan beragam mata pelajaran. Mereka mengajar
berhitung, tetapi juga mengajar bahasa, atau juga mengajari ilmu pengetahuan
alam. Kemampuan seseorang itu sesungguhnya terbatas.
Kompetensi guru akan membawa dampak terhadap hasil proses pendidikan. Oleh sebab itu, seorang guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan studi lanjut agar ia benar-benar memahami benar akan ilmu yang dikuasainya, dan selalu berlatih diri untuk meningkatkan metodologi dan teknik pembelajaran agar ia dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masih banyak kita dapati guru-guru yang belum memiliki kompetensi dalam bidangnya dan kurang memiliki pengalaman serta kematangan dalam memberikan beragam metode dan teknik pembelajaran, sehingga terkadang guru menjadi bingung menghadapi murid yang nakal, malas, dan sebagainya. Akibatnya, proses pendidikan tidak memperoleh hasil yang diharapkan.
B. Uno (2011:134) mengatakan sejak pelita
II, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan pendidikan. Saat
itu guru diposisikan sebagai alat politik kekuasaan untuk melanggengkan rezim orde baru memalui kekuatan Golkar. Sisi yang terabaikan dengan peran guru yang
seperti itu adalah persoalan profesionalisme.
Belum lagi pengelolaan semua kebijakan pendidikan dilakuakan secara
sentralistik. Penyususunan rancangan pembelajaran tidak dilakukan melalui
analisis karakteristik siswa dan potensi siswa yang dapat dikembangkan siswa.
Akibatnya, hasil pendidikan hanya mampu melahirkan SDM yang hanya mampu
menghadapi persamaan, sementara perbedaan berfikir dianggap sebagai kelompok
yang kontroversi dalam kebijakan, yang pada akhirnya hasil dari pendidikan
hanya memperbanyak barisan pengangguran karena ”domain” yang digarap dalam
pendidikan tidak sesuai dengan potensi siswa dan SDA yang akan mereka kelola
setelah selesai dari lembaga pendidikan.
C. Mengurai Permasalahan Pendidikan Di Indonesia
Untuk mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia, sekaligus dalam
rangka menghadapi tantangan dimasa depan, maka harus dilakukan perubahan yang
mendasar dalam hal pengelolaan pendidikan.
Semua komponen bangsa tentunya menginginkan Indonesia sejajar dengan
bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia, itu semua akan tercapai manakala
pendidikan sudah menjadi prioritas utama dalam pembangunan, dan dikelola secara
sungguh-sungguh.
Kesatuan sistem penanganan pendidikan
mulai dari kebijakan pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja pemerintah.
Pemerintah mesti bertanggung jawab penuh terhadap problem pendidikan, sekaligus
diperlukan suatu perangkat perundangan yang walaupun sudah terbentuk, namun
masih terkesan belum memenuhi harapan. Sebab itu perlu ada perbaikan dan usaha
untuk menyempurnakannya. Selain pemerintah, tentu saja semua pihak harus ikut
bertanggung jawab. Di samping itu, para penyelenggara pendidikan harus
konsisten dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan itu, dunia pendidikan
jangan dijadikan ajang bisnis. Kemauan dan kepedulian itu harus ditunjukkan melalui pelaksanaan dan
kontrol yang kuat. Sehingga
dengan demikian bangsa ini diharapkan kelak dapat menghasilkan anak didik yang
bermutu dan bermoral. Kuncinya adalah kesatuan dan kebersamaan. Penanggulangan sistem pendidikan di Indonesia
mesti dilakukan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dan bersatu
dalam kebersamaan tersebut.
1.
Melakukan Perubahan atas Kesalahan Pendidikan
Paling tidak, ada sepuluh kenderungan kesalahan yang dilakukan pada
penyelenggaraan pendidikan yang lalu dan perlu diubah secara bersama agar tujuan
pendidikan dapat dicapai. Sepuluh kesalahan tersebut antara lain :
a. pendidikan terkesan sebagai proses pembelengguan,
b. pendidikan terkesan sebagai proses pembodohan,
c. pendidikan terkesan sebagai proses perampasan hak anak-anak,
d. pendidikan terkesan menghasilkan tindak kekerasan,
e. pendidikan terkesan sebagai proses pengebirian potensi,
f. pendidikan terkesan sebagai pemecah wawasan manusia,
g. pendidikan terkesan sebagai wahana disintergrasi,
h. pendidikan terkesan menghasilkan manusia otoriter,
i. pendidikan terkesan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan,
j. pendidikan terkesan hanya terjadi disekolah.
Dengan berani jujur atas kesalahan yang telah dilakukan, berani
introspeksi dan berani melakukan perubahan secara mendasar, maka tidak akan ada
kata terlambat untuk memulai hal baru
yang lebih baik.
2.
Efesiensi Pemanfaatan Anggaran Pendidikan
Kurang
proposianalnya anggaran pendidikan menjadi isu yang tidak pernah berhenti untuk
diperdebatkan oleh para pakar dan pengamat pendidikan. Rendahnya anggaran
tersebut menjadi indikator kurangnya kepedulian pemerintah untuk membenahi
sistem pendidikan. Selain itu, rendahnya anggaran dituding sebagai sumber
penyebab kebobrokan sistem pendidikan nasional. Padahal semakin tinggi alokasi
anggaran pendidikan, semakin besar kemungkinan keberhasilan program pembangunan
manusianya. Anggaran pendidikan di Indonesia yang beberapa tahun belakangan
rata-rata berkisar sekitar 1,4 % dari GNP ternyata sangat kecil apabila
dibandingkan dengan negara-negara maju. Bandingkan dengan Malaysia dan Thailand
yang anggaran pendidikannya rata-rata mencapai 3,8 % dari GNP-nya. Sementara
negara-negara maju mengalokasikan lebih dari
5 % GNP-nya.
Rasional
permintaan kenaikan anggaran tersebut tentunya harus diimbangi dengan efisiensi
pemanfaatannya.
Tampaknya,
efisiensi penggunaan anggaran tersebut masih jauh dari harapan. Sebagaimana
terungkap dari temuan BPK dan BPKP, ternyata Departeman Pendidikan Nasional
(Depdiknas) menempati salah satu peringkat tertinggi dalam hal penyelewengan
dan korupsi. Ditemukan 210 kasus senilai 2,8 miliar dan yang lebih memprihatinkan
adalah gaji guru pun diselewengkan. Kiranya kritisi para pakar tentang
rendahnya anggaran pendidikan ini maka perlu secara bijak mencermati
pemanfaatan dana yang ada. Menuntut kenaikan anggaran bukanlah tidak benar
sepanjang dana tersebut dimanfaatkan secara benar.
3. Depolitisasi
Kebijakan Pendidikan
Berbagai kebijakan telah ditetapkan yang
pada umumnya berada dalam kerangka perbaikan mutu pendidikan. Pengalaman yang
ada menunjukan bahwa setiap adanya pergantian pimpinan dalam lingkungan
Depdiknas akan muncul pemikiran-pemikiran baru. Kebijakan baru cenderung tidak
memiliki kesinambungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan
sebelumnya. Tambal sulam kebijakan didunia pendidikan kita tampaknya sudah
menjadi suatu hal yang lumrah. Sayangnya, perubahan-perubahan kebijakan
tersebut cenderung bernuansa “politis” ketimbang didasarkan perubahan filosofi
serta subtansi. Contohnya, kebijakan KBK yang baru saja diterapkan, baru seumur
jagung dan bahkan jajaran pelaksana pendidikan belum semuanya tahu tentang apa
itu KBK, mulai Maret 2006 dan diganti lagi dengan kurikulum baru yang hingga
saat ini masih dicari penamaanya. Dimasa mendatang, ada baiknya dalam penetapan
suatu kebijakan perlu melalui suatu perencaan yang bersifat filosofis dan
komperhensif. Mekanisme sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat luas sebagai salah
satu komponen pengambil keputusan menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi.
Tidak seperti selama ini, masyarakat cenderung tidak memahami latar belakang
lahirnya suatu kebijakan, tetapi harus
menanggung segala konsekuensi adanya kebijakan-kebijakan yang dimaksud.
4. Restukturisasi
Organisasi
Berlakunya otoda dan perimbangan
kewenangan keuangan pusat dan daerah menuntut adanya sistem perencaan dan
manajemen baru pengelolaan pendidikan. Akan terjadi suatu pergeseran paradigma
pendidikan nasional dari paradigma birokrasi menuju ke korporat birokrasi.
Dengan bergesernya penyelenggaraan
pemerintah yang terdesentralisasi dan otonom maka pengaturan peran dan wewenang
serta tanggung jawab pemerintah daerah dalam perencaan dan pengelolaan
pelaksanaan pendidikan menjadi lebih besar.
Pembaruan sistem pendidikan yang telah diberikan dominan di daerah
tersebut, bisa diikuti dengan perubahan sistem kelembagaan dan pengelolaan
pendidikan. Perubahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud antara lain
akselerasi pendidikan dengan cara mencanangkan batas usia masuk sekolah dasar 5
tahun, lama pendidikan SD 5 tahun, SMP 2 tahun, serta SMA 3 tahun. Pada sisi
lain, perlu ada perubahan kurikulum secara mendasar.
5. Memposisikan Penjabat Pendidikan adalah
Mereka yang Profesional
Kebijakan peningkatan mutu pendidikan
tidak akan habis dibicarakan dan akan selesai masalahnya, jika tidak dilakukan
melalui kebijakan politik pemerintah dengan membangun komitmen bersama untuk
menjadikan sektor pendidikan merupakan area yang harus dikelola oleh kelompok
yang profesional. Artinya, yang duduk dalam birokrasi pendidikan benar-benar
ahli dalam pendidikan yang mampu melihat nasib generasi bangsa dimasa yang akan
datang dengan berbagai perubahan dan pembaharuan yang dilakukan.
Rekrutmen tenaga guru harus profesional
dan kompeten. Pelaksanaan uji kompetensi dapat dilakukan oleh lembaga
independen ( PT, LSM, dan praktisi profesional) dengan membuang jauh-jauh model
KKN yang hanya memmperpuruk kualitas pendidikan kita.
6. Mengarahkan
Siswa ke Pendidikan yang Sesuai dengan Kompetensinya
Kebijakan pemerintah melalui perubahan
paradigma pendidikan merupkan alternatif pilihan pendidikan yang dianggap
survival dimasa yang akan datang. Dengan tidak diperlakukannya lagi pendidikan
berbasis kompetensi, mungkin daerah dapat mengembangkan pendidikan berbasis
kawasan. Pendidikan berbasis kawasan tidak cukup diartikulasikan sebagai upaya
membangun lembaga pendidikan tertentu didaerah tertentu sesuai potensi alamnya.
Disamping aspek potensi alamnya, yang
lebih penting adalah bagaimana mengarahkan anak pada pendidikan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan potensinya
sejak dini, mungkin sejak SMP melalui uji kompetensi khusus.
Jika
sejak awal anak diarahkan sesuai dengan kawasan potensi yang dimilikinya maka
pilihan pendidikan yang dipilihnya ditekuninya dengan baik, yang pada akhirnya
anak tersebut menjadi profesional dibidangnya, dengan memanfaatkan ilmunya itu
untuk mengelola sumber daya alam yang tersedia di daerah (Uno, 2011:135-136).
D. Beberapa Solusi bagi Berbagai Problematika
Keguruan di Indonesia
Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka
tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu
keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat.
Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas sudah barang tentu mustahil dapat terjadi dengan sendirinya,
melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus,
terencana dan berkesinambungan.
1. Peningkatan Profesionalisme Guru
Guru merupakan titik sentral dari
peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar
mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu
keharusan.
Guru yang profesional tidak hanya
menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu
memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas
terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman
yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan
melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi
pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu
mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang
bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi
peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40
ayat 2a).
Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988)
untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan
proses belajarnya.
b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa.
c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar
siswa melalui berbagai cara evaluasi. d.
Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar
dari
pengalamannya.
e. Guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional , seorang guru yang sejati harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu. (http://denmasgoesyono.multiply.com/journal/item/13 diakses tgl 8 April 2011).
Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional , seorang guru yang sejati harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu. (http://denmasgoesyono.multiply.com/journal/item/13 diakses tgl 8 April 2011).
2. Peningkatan
Kelayakan Mengajar dan Kesejahteraan
Guru
Apapun
alasannya, guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan
pendidikan. Disamping khusus diangkat untuk mengerjar dan mendidik, guru
diberikan tugas sebagai pelaku pembauran. Mengingat tugasnya tersebut, masalah
kelayakan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal kondisi kemampuan
guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan.
Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya
kemampuan guru mentrsnsportasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari
22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan
guru di bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase
guru yang memperoleh nilai 7 (artinya cukup dalam penguasaan materi bidang
studinya) jumlahnya relatif sedikit (38,96 %) dibandingkan mereka yang mereka
yang mendapat nilai kurang dari 6 (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan kondisi
guru di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di
daerahnya lebih memperhatinkan lagi.
Apabila
tingkat kelayakan mengajar sudah terpenuhi, tuntutan perbaikan kesejahteraan
bagi guru harus menjadi salah satu agenda pokok program pemerintah. tidak
sebaliknya, seperti yang selama ini terjadi guru menuntut perbaikan tingkat
kesejahteraan sementara mereka tidak memiliki kelayakan yang cukup. Mungkin
agak sulit untuk melakukan mekanisme kontrol yang dapat menjamin bahwa kenaikan
gaji atau tunjangan guru akan diikuti secara signifikan dengan ditinggalkannya
kerja sampingan oleh guru-guru. Padahal, keprofesionalan seseorang akan
ditentukan oleh tingkat kinerja sesuai dengan profesi yang digelutinya.
3. Memberikan Tunjangan Layak Hidup
Bagi Guru yang Masuk Purnatugas
Pekerjaan
sebagai seorang guru adalah pekerjaan profesional yang penuh dengan pengabdian
karena berurusan dengan upaya membentuk pola pikir, perilaku, dan tindakan
manusia. Oleh karena itu, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan setengah hati.
Sebagai imbalan jasa yang pernah diberikan harus seimbang dengan kebutuhan dan
hari depan guru. Idealnya guru dapat tunjangan rumah, kendaraan, kesehatan, dan
tujangan rekreasi keluar negeri minimal di 5 kota besar di Indonesia. Disamping
tunjangan lainnya akan tetapi, pemikiran kearah itu masih memerlukan proses
yang panjang. Oleh karena itu, pemikiran menjamin kesejahteraan guru setelah
masuk purnatugas perlu ada kebijakan pendidikan khusus bagi guru yang sudah
berumur 50 tahun, yang diorientasikan pada kesiapan mereka masuk kedunia kerja
baru. Program pendidikan ini merupakan pendidikan praktis-pragmatis, yang
diikuti pemberian modal kerja yang sesuai dengan jenis pilihan pekerjaan
barunya.
4. Membentuk Kebiasaan Guru Efektif
Ketidakberhasilan pendidikan salah satu
penyebabnya adalah proses pembelajaran yang terjadi tidak efektif. Yakni tidak
memenuhi sasaran yang diinginkan. Hal ini dapat terjadi manakala guru sebagai
ujung tombak pendidikan bukan merupakan pribadi efektif sehingga didalam mengelola
pembelajaran juga tidak efektif. Untuk itu perlu diupayakan agar guru-guru
menjadi manusia-manusia yang efektif.
Sukadi
(2006:72-75) menjelaskan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran,
guru harus memiliki seperangkat ciri kebiasaan efektif. Stephen R. Covey dalam
bukunya 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat
Efektif (1994), mengatakan bahwa tanda-tanda manusia efektif adalah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Berfikir
Proaktif
Manusia
efektif adalah manusia yang pikirannya berorientasi pada peluang, bukan pada
kesulitan. Apabila ia menghadapi kesulitan dalam hidupnya, ia tidak terbelengu
dengan kesulitan itu. Orang proaktif tidak berteriak gelap saat menghadapi
suasana gelap, namun akan berupaya membuat suasana gelap menjadi terang, meskipun
hanya dengan menyalakan sebuah lilin.
Didunia
pendidikan, seorang guru akan banyak menghadapi persoalan. Nah, guru efektif
tidak akan dibelengu oleh persoalan namun ia akan selalu berupaya mengubah
setiap persoalan menjadi tantangan dan peluang. Ia berupaya menjadi pengendali
atas keadaan yang tidak menyenangkan, bukan dikendalikan oleh keadaan yang
tidak menyenangkan itu.
Sebaliknya,
guru yang mudah bereaksi dan reaksinya negatif atas persoalan yang muncul maka
disebut guru reaktif. Guru reaktif tidak akan efektif.
b. Memiliki
Tujuan (Visi dan Misi) yang Jelas
Manusia
tanpa tujuan, ibarat layang-layang yang putus talinya atau seperti perahu tanpa
nahkoda. Ia dapat terombang ambing oleh keadaan yang ada diluar dirinya.
Padahal, sukses tidak terjadi dengan sendirinya. Setiap sukses harus dibayar
dan direncanakan.
Dalam
dunia pendidikan, seorang guru efektif tanpak dalam tujuannya (visi dan
misinya). Memang, pada praktiknya banyak guru yang asal mengajar atau
asal-asalan. Guru efektif tidak akan asal mengajar. Ia mengemban visi dan misi,
yaitu membangun masa depan bangsa dan negara, serta umat manusia.
c. Pandai Membuat dan Menetukan Skala
Prioritas
Manusia
efektif bertindak dengan skala prioritas. Ia tidak asal bertindak. Tindakannya
selalu diarahkan pada tujuan-tujuan yang jelas dan mulia.
Guru
efektif juga demikian. Kendati pun ia memiliki banyak aktifitas tetapi
tindakannya selalu menuntut skala prioritas. Prioritas utama bagi guru efektif
adalah masa depan murid-muridnya, bukan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
d. Berpikir
menang-menang (win-win)
Dalam
pola dan hubungan komunikasi guru efektif berpikir menang-menang (win-Win). Ia
tidak membiarkan dirinya dirugikan tetapi ia pun tidak mau merugikan orang
lain. Dalam situasi sesulit apapun, orang efektif selalu menjunjung pola
hubungan win-win. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat 4 pola hubungan, yaitu win-lose
(menang-kalah), lose-win (kalah-menang), lose-lose (kalah-kalah), win-win
(menang-menang).
Pola
win-lose biasanya digunakan oleh orang-orang egois. Pola lose-win digunakan
oleh orang-orang yang minder dan kurang rasa percaya diri. Pola lose-lose
dipraktikan oleh orang-orang yang berputus asa dan tidak berdaya untuk membuat
pilihan terbaik. Orang efektif, menggunakan pola hubungan win-win
(menang-menang).
e. Senang
Bekerja Sama
Guru
efektif mengembangkan prinsip kemitraan dalam menunaikan tugasnya. Ia tidak
memandang dirinya sebagai orang super. Ia juga tidak memandang peserta didiknya
lemah. Guru efektif memandang setiap manusia sebagai sosok yang memiliki
potensi dan mampu memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk meraih sukses
dan dapat mengabdi kepada masyarakat disekitarnya.
f. Memerhatikan
Orang Lain
Guru
efektif memberikan perhatian yang lebih terhadap siswa dan profesinya. Ia tidak
mengedepankan tuntutan untuk dirinya. Guru efektif memilih keyakinan bahwa bila
ia memrhatikan siswa dan profesinya secara maksimal, ia akan mendapat perhatian
yang sebanding.
Guru
efektif memiliki keyakinan yang kuat bahwa tuhan tidak akan pernah
menyia-nyiakan amal hambanya, sekecil apapun amal itu ia berikan. Oleh karena
itu, guru efektif selalu menanam investasi kebaikan pada siswa dan tugas
profesinya.
g. Selalu Belajar Sepanjang Waktu
Guru
efektif sangat memahami bahwa gergaji akan tetap tajam apabila terus diasah. Ia
sadar bahwa belajar merupakan tuntunan mutlak agar pemikiran dan ilmunya tetap
tajam.
Sebaliknya,
guru yang tidak efektif malas belajar. Ia menganggap bahwa dirinya sudah pintar
sehingga tidak perlu belajar lagi. Padahal, berhenti belajar berarti memutuskan
diri untuk mundur dari gelangan kesuksesan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian-uraian yang telah penulis kemukakan di atas, maka sebagai penutup,
berikut ini penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai problema yang
sangat mendasar dan multidimensional, yaitu antara lain rendahnya
kualitas pendidikan secara umum, anggaran yang tidak sesuai atau rendah, sarana
dan prasarana yang kurang memadai. Selain itu masalah keguruan juga mengalami
berbagai problematika yang tidak kalah peliknya antara lain rendahnya kualitas
guru, kurang profesional dalam melaksanakan tugas keguruan, juga kurang
efektifnya proses pembelajaran yang terjadi.
Ada berbagai solusi dalam mengurai
permasalahan pendidikan dan keguruan di Indonesia, antara lain Melakukan
Perubahan atas Kesalahan Pendidikan, Efesiensi Pemanfaatan Anggaran Pendidikan,
Depolitisasi Kebijakan Pendidikan, Restukturisasi Organisasi, Memposisikan
Penjabat Pendidikan adalah Mereka yang Profesional, Peningkatan
Profesionalisme Guru,
Peningkatan Kelayakan Mengajar dan Kesejahteraan Guru, dan Membentuk Kebiasaan
Guru Efektif.
DAFTAR PUSTAKA
B. Uno,Hamzah. 2011. Profesi Kependidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Kusnandar. 2010. Profesi Keguruan.
Jakarta. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukadi. 2006. Guru Powerful Guru Masa Depan. Bandung: Qolbu.
http://denmasgoesyono.multiply.com/journal/item/13
diakses tgl 8 April 2011).
Makasih artikelnya, ijin share kabar tentang Dunia Guru, lowongan kerja, tunjangan, pendidikan, Info sekolah, Honorer, Beasiswa serta masih banyak lagi informasi terkini seperti:
BalasHapusCara Cek Status Inpassing Guru
Info Lengkap dan Panduan Beasiswa Jenjang S1 atau S2
Panduan Juknis Penulisan Ijazah Lengkap
Faktor Penyebab Gagal Seleksi Tes CPNS
Jadwal Pencairan Tunjangan seritfikasi
Video Panduan Upload Data Siswa