Jumat, 10 Februari 2012

Makalah Problematika Keguruan dan Pendidikan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
     Pendidikan adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa atau pun negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional.
Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa.(http://formmit.org/social/224-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-a-gagasan-based-syaria-education.html  diakses tanggal 8 April 2011).
  Amanat konsitusi  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dalam UUD 1945 dengan tegas dan jelas memposisikan pendidikan nasional pada posisi strategis sebagai instrumen perjuangan bangsa yang tidak hanya berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa tapi membangun bangsa, peradaban bangsa, nilai-nilai moral dan semangat berjuangan bangsa untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan negara. Salah satu amanat UUD 1945 kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan perkembangan zaman, maka timbul permasalahan-permasalahan pendidikan yang kompleks.  Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan pendidikan muncul dan berkembang seperti rendahnya kualitas pendidikan secara umum, masalah anggaran pendidikan, tidak meratanya kesempatan pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Lebih khusus lagi, problematika juga  terjadi pada profesi keguruan yang merupakan ujung tombak dunia pendidikan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain rendahnya kualitas guru, tidak profesional dalam melaksanakan tugas keguruan , kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, dan tingkat kesejahteraan guru yang relatif masih rendah.
Permasalahan pendidikan adalah suatu masalah yang sangat kompleks. Apabila ditelaah lebih jauh, maka kita akan menemukan sekumpulan hal-hal rumit yang sangat susah untuk disiasati.  Masalah yang dihadapi tersebut akan lebih susah jika saling berkait satu sama lain (http://isaninside.files.wordpress.com. diakses tgl. 8 April 2011).
Banyaknya permasalahan yang timbul dalam dunia pendidikan  merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh seluruh komponen anak bangsa. Permasalahan pendidikan merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan kajian problematika pendidikan di Indonesia yang merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
B.      Masalah
Masalah akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.         Apa sajakah permasalahan pendidikan dan keguruan di Indonesia?
2.         Bagaimanakah solusi dalam menghadapi berbagai problematika pendidikan di Indonesia?

C.        Tujuan
        Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia, memahami berbagai problematika keguruan di Indonesia, mengetahui usaha untuk mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia, serta untuk mengungkap berbagai solusi dalam menghadapi berbagai problematika keguruan di Indonesia, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Profesi Keguruan.





BAB II
PEMBAHASAN
         
A.      Berbagai Permasalahan Pendidikan di Indonesia
   UUD 1945 mengamanatkan pendidikian sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas handal yang dapat membangun bangsa dan negara yang akan bermuara pada tingkat kehidupan yang layak dan sejahtera serta mampu berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan teknologi.
   Dalam upaya mengemban amanat tersebut, bangsa Indonesia menghadapi  berbagai persoalan yang muncul silih berganti melanda dunia pendidikan nasional, baik yang berskala mikro maupun yang makro. Persoalan pendidikan di Indonesia adalah persoalan yang rumit, yang dimaksud di sini mengandung banyak macam problematika.
Indonesia saat ini berada dalam situasi transisi dari era sentralisasi ke era desentralisasi, upaya pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasinya yang dulu dilakukan secara terpusat oleh aparat pemerintah pusat, sekarang didistribusikan secara desentralisasi ke daerah-daerah. Demikian juga halnya urusan pendidikan, terjadi perubahan paradigma yang dulunya sarwa Negara (state driven) kini mulai berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting customers first). Sistem dan proses pendidikan melakukan repositioning (Uno, 2011:6). Situasi dan kondisi yang demikian jelas akan menimbulkan banyak sekali problematika yang cukup kompleks, antara lain:


1.      Rendahnya Kualitas Pendidikan Secara Umum
          Salah satu permasalahan esensial pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Menurut Kusnandar (2010:1) kualitas pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai indikator.
a.       Lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Menurut pengamat ekonomi Dr. Berry Priyono, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori sehingga peserta didik kurang kreatif dan inovatif (Kompas, 4 Desember 2004).
b.      Berdasar hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, saat ini kita berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand dan apalagi dengan Cina kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif.
c.       Laporan Internasional Education Achievement (IEA) bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia  berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei.
d.      Mutu akademik antar bangsa melalui Programme Student Assesment for International (PISA)  2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39.
e.       Laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM  Indonesia berada diposisi 46 dari 47 negara yang disurvei.
f.       Posisi perguruan tinggi Indonesia yang dianggap favorit, seperti UI dan UGM hanya berada pada posisi 61 dan 68 dari 77 pergurua n tinggi di Asia.

Lebih memprihatinkan lagi dengan data Kemenpora yang menyatakan bahwa sebanyak  37,06 %  pemuda Indonesia hanya lulus SD. Dari 127 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda diperkirakan 97 juta orang, dengan asumsi pemuda adalah mereka yang berusia 15 – 35 tahun. Dengan kondisi tersebut, sulit mengharapkan mereka menjadi agen perubahan sosial, sebagaimana yang diharapan masyarakat luas (Media Indonesia, 22 Desember 2005).




2.      Masalah Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan memiliki peran penting untuk bisa tercapainya cita-cita atau tujuan pendidikan dapat tercapai. Sejak dahulu pemerintah baru sekedar memberikan janji untuk meningkatkan anggaran pendidikan, namun itu masih sebatas gembar-gembor. Sekali lagi persoalan anggaran pendidikan juga seharusnya tidak ada perbedaan antara negeri dan swasta, sekurang-kurangnya kesenjangan jangan terlalu jauh. Anggaran pendidikan sangat berpengaruh besar pada proses penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan bermoral, termasuk juga profesionalisme guru.
Guru selama ini dituntut untuk berkhidmat secara sempurna dalam melahirkan anak-anak berkualitas. Dengan rendahnya anggaran pendidikan membuat penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu menjadi rendah. Guru itu merupakan sosok manusia yang sangat disiplin menjalankan tugasnya. Mereka juga sosok yang memiliki pengetahuan yang lebih bila dibandingkan dengan pegawai-pegawai lainnya, demikian halnya kepribadian guru adalah suri tauladan yang baik, tetapi tak dapat dipungkiri gaji guru sangat rendah dibandingkan dengan karyawan lainnya.
Fenomena gaji guru Indonesia sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negeri tetangga. Gaji seorang profesor di Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding di negara lain. Belum lagi usia pensiun seorang profesor di Indonesia berbeda dengan karyawan lainnya, mereka baru memasuki pensiun di usia 70 tahun. Apalagi kalau kita perhatikan kesejahteraan guru-guru di tingkat bawah, lebih-lebih para guru swasta. Mereka sangat mengalami kesusahan secara material. Akibatnya tentu saja sangat berpengaruh dengan tingkat profesionalisme dan kesuritauladannya.
 Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal 49  dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
3.      Masalah Sarana Pendidikan
          Pendidikan untuk semua juga masih dalam batas tataran janji. Sejak orde baru telah dicanangkan program pendidikan untuk semua melalui program wajib belajar (wajar). Dengan wajar, maka diharapkan tak ada lagi masyarakat Indonesia yang tak pernah menyelesaikan pendidikan dasarnya. Program wajib belajar membebaskan anak didik dari kewajiban membayar uang sekolah. Istilah populernya sekolah gratis. Dalam kenyataannya, ternyata tak ada yang tanpa biaya. Justru biaya sekolah SD semakin mencekik, hingga sekarang di era pasca reformasi, biaya sekolah dasar tak ada yang gratis,apalagi sekolah menengah, lebih-lebih perguruan tinggi, semuanya bisa dikatakan mahal.
          Tidak jarang biaya yang dikeluarkan orang tua yang anaknya sekolah di SD negeri bisa sama dengan yang di SD swasta, bahkan ada kecenderungan sekarang ini lembaga pendidikan negeri dengan alasan swastanisasi, biaya sekolah lebih mahal dari sekolah swasta. Komitmen pemerintah memang masih dalam batas lip service. Harian Republika mengutip bagaimana komitmen pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, maupun Singapura terhadap pendidikan dasar dan menengah. Belum lagi persoalan gedung-gedung SD dan SMP, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Tak sedikit gedung sekolah yang hancur, bukan saja yang jauh dari ibukota negara, bahkan di Jakarta sendiri banyak gedung sekolah rusak belum diperbaiki. Lalu bagaimana pula dengan gedung-gedung sekolah yang rusak dan hancur karena bencana?


          Hal yang lain menyangkut sarana dan prasarana belajar. Persoalan buku umpamanya, ini juga menjadi masalah yang akhirnya menjadi beban masyarakat. Tiap tahun buku pelajaran berganti, biaya sekolah menjadi sangat mahal, yang akhirnya menyulitkan bagi orang tua. Berbeda dengan zaman dulu, di mana pemerintah punya kepedulian terhadap pengadaan buku pelajaran. Anak-anak didik mendapat buku tersebut secara cuma-cuma, atau sekurang-kurangnya mendapat pinjaman. Tiap sekolah memiliki perpustakaan yang lengkap, sehingga murid-murid dapat memanfaatkan dan membaca buku di perpustakaan. Laboratorium merupakan bagian dari sarana yang sangat menunjang kualitas pendidikan.

          Realisasinya, tidak semua sekolah di negeri ini memiliki sarana laboratorium yang memadai. Yang prinsip atau yang primer saja persoalan sarana ini belum semua dapat terealisir, apalagi sarana lain yang merupakan penunjang, seperti halnya sarana olah raga, kesenian, dan lain sebagainya, tidak semua lembaga pendidikan di Indonesia dapat melengkapinya. Belum lagi dalam masalah perkembangan teknologi, seperti pemanfaatan komputer dan internet, hampir di sekolah-sekolah kita tidak ada yang memilikinya terutama sekolah-sekolah di daerah pedalaman kondisinya masih jauh dari dikatakan layak.

B.  Problematika Keguruan di Indonesia
Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan.
           Namun juga tidak terlalu salah, sebab guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Yang menjadi permasalahan keguruan di Indonesia itu antara lain:

1.         Rendahnya Kualitas Guru
Menurut Kusnandar (2010:41) realitas menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih rendah.  Data Balitbang Depdiknas (1999) menunjukkan dari peserta tes guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah.  Dari 6.164 calon guru Biologi rata-rata skornya hanya 44,96; dari 396 calon guru Kimia ketika dites Kimia rata-rata skornya hanya 43,55; dari 7.558 calon guru Bahasa Inggris  ketika dites Bahasa Inggris rata-rata skornya hanya 37,57 ; dari 7.863 calon guru Matematika ketika dites Matematika rata-rata skornya hanya 27,67 dan dari 1.164  calon guru Fisika  ketika dites Fisika  rata-rata skornya hanya 27,35.
Data Balitbang Depdiknas (2001) menunjukkan bahwa guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38 % dari 1.141.168 guru se-Indonesia.  Begitu juga untuk jenjang menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar dibawah 70 % (Kompas, 25 Januari 2004).
B. Uno (2011:135) menguraikan bahwa  guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan.  Disamping khusus diangkat untuk mengajar dan mendidik, guru dibebani tugas sebagai pelaku pembaruan. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan mengajar menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal, kondisi guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan. Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup menguasai materi bidang studinya) relatif sedikit (38,96%) dibandingkan dengan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan  kondisi guru di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerah tentunya lebih memprihatinkan.

2.         Tidak Profesional Dalam Melaksanakan Tugas Keguruan
Profesionalisme guru juga sangat berkaitan dengan kompetensi seorang guru. Adalah sangat tidak layak bila seorang guru tingkat dasar mengajar dengan beragam mata pelajaran. Mereka mengajar berhitung, tetapi juga mengajar bahasa, atau juga mengajari ilmu pengetahuan alam. Kemampuan seseorang itu sesungguhnya terbatas.

          Kompetensi guru akan membawa dampak terhadap hasil proses pendidikan. Oleh sebab itu, seorang guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan studi lanjut agar ia benar-benar memahami benar akan ilmu yang dikuasainya, dan selalu berlatih diri untuk meningkatkan metodologi dan teknik pembelajaran agar ia dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masih banyak kita dapati guru-guru yang belum memiliki kompetensi dalam bidangnya dan kurang memiliki pengalaman serta kematangan dalam memberikan beragam metode dan teknik pembelajaran, sehingga terkadang guru menjadi bingung menghadapi murid yang nakal, malas, dan sebagainya. Akibatnya, proses pendidikan tidak memperoleh hasil yang diharapkan.
B. Uno (2011:134) mengatakan sejak pelita II, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan pendidikan. Saat itu guru diposisikan sebagai alat politik kekuasaan untuk melanggengkan  rezim orde baru memalui kekuatan Golkar.  Sisi yang terabaikan dengan peran guru yang seperti itu adalah persoalan profesionalisme.  Belum lagi pengelolaan semua kebijakan pendidikan dilakuakan secara sentralistik. Penyususunan rancangan pembelajaran tidak dilakukan melalui analisis karakteristik siswa dan potensi siswa yang dapat dikembangkan siswa. Akibatnya, hasil pendidikan hanya mampu melahirkan SDM yang hanya mampu menghadapi persamaan, sementara perbedaan berfikir dianggap sebagai kelompok yang kontroversi dalam kebijakan, yang pada akhirnya hasil dari pendidikan hanya memperbanyak barisan pengangguran karena ”domain” yang digarap dalam pendidikan tidak sesuai dengan potensi siswa dan SDA yang akan mereka kelola setelah selesai dari lembaga pendidikan.

C.  Mengurai Permasalahan Pendidikan Di Indonesia
Untuk mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia, sekaligus dalam rangka menghadapi tantangan dimasa depan, maka harus dilakukan perubahan yang mendasar dalam hal pengelolaan pendidikan.  Semua komponen bangsa tentunya menginginkan Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia, itu semua akan tercapai manakala pendidikan sudah menjadi prioritas utama dalam pembangunan, dan dikelola secara sungguh-sungguh.
Kesatuan sistem penanganan pendidikan mulai dari kebijakan pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab penuh terhadap problem pendidikan, sekaligus diperlukan suatu perangkat perundangan yang walaupun sudah terbentuk, namun masih terkesan belum memenuhi harapan. Sebab itu perlu ada perbaikan dan usaha untuk menyempurnakannya. Selain pemerintah, tentu saja semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Di samping itu, para penyelenggara pendidikan harus konsisten dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan itu, dunia pendidikan jangan dijadikan ajang bisnis. Kemauan dan kepedulian itu harus ditunjukkan melalui pelaksanaan dan kontrol yang kuat. Sehingga dengan demikian bangsa ini diharapkan kelak dapat menghasilkan anak didik yang bermutu dan bermoral. Kuncinya adalah kesatuan dan kebersamaan.  Penanggulangan sistem pendidikan di Indonesia mesti dilakukan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dan bersatu dalam kebersamaan tersebut.

1.      Melakukan Perubahan atas Kesalahan Pendidikan
Paling tidak, ada sepuluh kenderungan kesalahan yang dilakukan pada penyelenggaraan pendidikan yang lalu dan perlu diubah secara bersama agar tujuan pendidikan dapat dicapai. Sepuluh kesalahan tersebut antara lain :
a. pendidikan terkesan sebagai proses pembelengguan,
b. pendidikan terkesan sebagai proses pembodohan,
c. pendidikan terkesan sebagai proses perampasan hak anak-anak,
d. pendidikan terkesan menghasilkan tindak kekerasan,
e. pendidikan terkesan sebagai proses pengebirian potensi,
f. pendidikan terkesan sebagai pemecah wawasan manusia,
g. pendidikan terkesan sebagai wahana disintergrasi,
h. pendidikan terkesan menghasilkan manusia otoriter,
i. pendidikan terkesan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan,
j. pendidikan terkesan hanya terjadi disekolah.
Dengan berani jujur atas kesalahan yang telah dilakukan, berani introspeksi dan berani melakukan perubahan secara mendasar, maka tidak akan ada kata terlambat    untuk memulai hal baru yang lebih baik.



2.   Efesiensi Pemanfaatan Anggaran Pendidikan
        Kurang proposianalnya anggaran pendidikan menjadi isu yang tidak pernah berhenti untuk diperdebatkan oleh para pakar dan pengamat pendidikan. Rendahnya anggaran tersebut menjadi indikator kurangnya kepedulian pemerintah untuk membenahi sistem pendidikan. Selain itu, rendahnya anggaran dituding sebagai sumber penyebab kebobrokan sistem pendidikan nasional. Padahal semakin tinggi alokasi anggaran pendidikan, semakin besar kemungkinan keberhasilan program pembangunan manusianya. Anggaran pendidikan di Indonesia yang beberapa tahun belakangan rata-rata berkisar sekitar 1,4 % dari GNP ternyata sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara maju. Bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang anggaran pendidikannya rata-rata mencapai 3,8 % dari GNP-nya. Sementara negara-negara  maju mengalokasikan lebih dari 5 % GNP-nya.
Rasional permintaan kenaikan anggaran tersebut tentunya harus diimbangi dengan efisiensi pemanfaatannya.
Tampaknya, efisiensi penggunaan anggaran tersebut masih jauh dari harapan. Sebagaimana terungkap dari temuan BPK dan BPKP, ternyata Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas) menempati salah satu peringkat tertinggi dalam hal penyelewengan dan korupsi. Ditemukan 210 kasus senilai 2,8 miliar dan yang lebih memprihatinkan adalah gaji guru pun diselewengkan. Kiranya kritisi para pakar tentang rendahnya anggaran pendidikan ini maka perlu secara bijak mencermati pemanfaatan dana yang ada. Menuntut kenaikan anggaran bukanlah tidak benar sepanjang dana tersebut dimanfaatkan secara benar.

3.   Depolitisasi Kebijakan Pendidikan
      Berbagai kebijakan telah ditetapkan yang pada umumnya berada dalam kerangka perbaikan mutu pendidikan. Pengalaman yang ada menunjukan bahwa setiap adanya pergantian pimpinan dalam lingkungan Depdiknas akan muncul pemikiran-pemikiran baru. Kebijakan baru cenderung tidak memiliki kesinambungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan sebelumnya. Tambal sulam kebijakan didunia pendidikan kita tampaknya sudah menjadi suatu hal yang lumrah. Sayangnya, perubahan-perubahan kebijakan tersebut cenderung bernuansa “politis” ketimbang didasarkan perubahan filosofi serta subtansi. Contohnya, kebijakan KBK yang baru saja diterapkan, baru seumur jagung dan bahkan jajaran pelaksana pendidikan belum semuanya tahu tentang apa itu KBK, mulai Maret 2006 dan diganti lagi dengan kurikulum baru yang hingga saat ini masih dicari penamaanya. Dimasa mendatang, ada baiknya dalam penetapan suatu kebijakan perlu melalui suatu perencaan yang bersifat filosofis dan komperhensif. Mekanisme sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat luas sebagai salah satu komponen pengambil keputusan menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi. Tidak seperti selama ini, masyarakat cenderung tidak memahami latar belakang lahirnya suatu kebijakan,  tetapi harus menanggung segala konsekuensi adanya kebijakan-kebijakan yang dimaksud.

4.   Restukturisasi Organisasi
      Berlakunya otoda dan perimbangan kewenangan keuangan pusat dan daerah menuntut adanya sistem perencaan dan manajemen baru pengelolaan pendidikan. Akan terjadi suatu pergeseran paradigma pendidikan nasional dari paradigma birokrasi menuju ke korporat birokrasi.
      Dengan bergesernya penyelenggaraan pemerintah yang terdesentralisasi dan otonom maka pengaturan peran dan wewenang serta tanggung jawab pemerintah daerah dalam perencaan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan menjadi lebih besar.  Pembaruan sistem pendidikan yang telah diberikan dominan di daerah tersebut, bisa diikuti dengan perubahan sistem kelembagaan dan pengelolaan pendidikan. Perubahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud antara lain akselerasi pendidikan dengan cara mencanangkan batas usia masuk sekolah dasar 5 tahun, lama pendidikan SD 5 tahun, SMP 2 tahun, serta SMA 3 tahun. Pada sisi lain, perlu ada perubahan kurikulum secara mendasar.

5. Memposisikan Penjabat Pendidikan adalah Mereka yang Profesional
      Kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak akan habis dibicarakan dan akan selesai masalahnya, jika tidak dilakukan melalui kebijakan politik pemerintah dengan membangun komitmen bersama untuk menjadikan sektor pendidikan merupakan area yang harus dikelola oleh kelompok yang profesional. Artinya, yang duduk dalam birokrasi pendidikan benar-benar ahli dalam pendidikan yang mampu melihat nasib generasi bangsa dimasa yang akan datang dengan berbagai perubahan dan pembaharuan yang dilakukan.
      Rekrutmen tenaga guru harus profesional dan kompeten. Pelaksanaan uji kompetensi dapat dilakukan oleh lembaga independen ( PT, LSM, dan praktisi profesional) dengan membuang jauh-jauh model KKN yang hanya memmperpuruk kualitas pendidikan kita.

6.   Mengarahkan Siswa ke Pendidikan yang Sesuai dengan Kompetensinya
      Kebijakan pemerintah melalui perubahan paradigma pendidikan merupkan alternatif pilihan pendidikan yang dianggap survival dimasa yang akan datang. Dengan tidak diperlakukannya lagi pendidikan berbasis kompetensi, mungkin daerah dapat mengembangkan pendidikan berbasis kawasan. Pendidikan berbasis kawasan tidak cukup diartikulasikan sebagai upaya membangun lembaga pendidikan tertentu didaerah tertentu sesuai potensi alamnya.
      Disamping aspek potensi alamnya, yang lebih penting adalah bagaimana mengarahkan anak pada pendidikan yang sesuai dengan  bakat, minat, dan potensinya sejak dini, mungkin sejak SMP melalui uji kompetensi khusus.
Jika sejak awal anak diarahkan sesuai dengan kawasan potensi yang dimilikinya maka pilihan pendidikan yang dipilihnya ditekuninya dengan baik, yang pada akhirnya anak tersebut menjadi profesional dibidangnya, dengan memanfaatkan ilmunya itu untuk mengelola sumber daya alam yang tersedia di daerah (Uno, 2011:135-136).

D. Beberapa Solusi bagi Berbagai Problematika Keguruan di Indonesia
     Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas  sudah barang tentu  mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan.

1. Peningkatan Profesionalisme Guru
      Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan.
      Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a).
      Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
a.   Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
b.  Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara    
      mengajarnya kepada siswa.
c.  Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. d.  Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar dari  
      pengalamannya.
e.  Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan  
     profesinya.
       Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional , seorang guru yang sejati harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu.
(http://denmasgoesyono.multiply.com/journal/item/13  diakses tgl 8 April  2011).

2. Peningkatan Kelayakan Mengajar dan Kesejahteraan Guru
      Apapun alasannya, guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan. Disamping khusus diangkat untuk mengerjar dan mendidik, guru diberikan tugas sebagai pelaku pembauran. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal kondisi kemampuan guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan.


       Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru mentrsnsportasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru di bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai 7 (artinya cukup dalam penguasaan materi bidang studinya) jumlahnya relatif sedikit (38,96 %) dibandingkan mereka yang mereka yang mendapat nilai kurang dari 6 (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan kondisi guru di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerahnya lebih memperhatinkan lagi.
      Apabila tingkat kelayakan mengajar sudah terpenuhi, tuntutan perbaikan kesejahteraan bagi guru harus menjadi salah satu agenda pokok program pemerintah. tidak sebaliknya, seperti yang selama ini terjadi guru menuntut perbaikan tingkat kesejahteraan sementara mereka tidak memiliki kelayakan yang cukup. Mungkin agak sulit untuk melakukan mekanisme kontrol yang dapat menjamin bahwa kenaikan gaji atau tunjangan guru akan diikuti secara signifikan dengan ditinggalkannya kerja sampingan oleh guru-guru. Padahal, keprofesionalan seseorang akan ditentukan oleh tingkat kinerja sesuai dengan profesi yang digelutinya.

3.   Memberikan Tunjangan Layak Hidup Bagi Guru yang Masuk Purnatugas
      Pekerjaan sebagai seorang guru adalah pekerjaan profesional yang penuh dengan pengabdian karena berurusan dengan upaya membentuk pola pikir, perilaku, dan tindakan manusia. Oleh karena itu, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan setengah hati. Sebagai imbalan jasa yang pernah diberikan harus seimbang dengan kebutuhan dan hari depan guru. Idealnya guru dapat tunjangan rumah, kendaraan, kesehatan, dan tujangan rekreasi keluar negeri minimal di 5 kota besar di Indonesia. Disamping tunjangan lainnya akan tetapi, pemikiran kearah itu masih memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, pemikiran menjamin kesejahteraan guru setelah masuk purnatugas perlu ada kebijakan pendidikan khusus bagi guru yang sudah berumur 50 tahun, yang diorientasikan pada kesiapan mereka masuk kedunia kerja baru. Program pendidikan ini merupakan pendidikan praktis-pragmatis, yang diikuti pemberian modal kerja yang sesuai dengan jenis pilihan pekerjaan barunya.



4.   Membentuk Kebiasaan Guru Efektif
      Ketidakberhasilan pendidikan salah satu penyebabnya adalah proses pembelajaran yang terjadi tidak efektif. Yakni tidak memenuhi sasaran yang diinginkan. Hal ini dapat terjadi manakala guru sebagai ujung tombak pendidikan bukan merupakan pribadi efektif sehingga didalam mengelola pembelajaran juga tidak efektif. Untuk itu perlu diupayakan agar guru-guru menjadi manusia-manusia yang efektif.
      Sukadi (2006:72-75) menjelaskan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran, guru harus memiliki seperangkat ciri kebiasaan efektif. Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif (1994), mengatakan bahwa tanda-tanda manusia efektif adalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.   Berfikir Proaktif
      Manusia efektif adalah manusia yang pikirannya berorientasi pada peluang, bukan pada kesulitan. Apabila ia menghadapi kesulitan dalam hidupnya, ia tidak terbelengu dengan kesulitan itu. Orang proaktif tidak berteriak gelap saat menghadapi suasana gelap, namun akan berupaya membuat suasana gelap menjadi terang, meskipun hanya dengan menyalakan sebuah lilin.
      Didunia pendidikan, seorang guru akan banyak menghadapi persoalan. Nah, guru efektif tidak akan dibelengu oleh persoalan namun ia akan selalu berupaya mengubah setiap persoalan menjadi tantangan dan peluang. Ia berupaya menjadi pengendali atas keadaan yang tidak menyenangkan, bukan dikendalikan oleh keadaan yang tidak menyenangkan itu.
      Sebaliknya, guru yang mudah bereaksi dan reaksinya negatif atas persoalan yang muncul maka disebut guru reaktif. Guru reaktif tidak akan efektif.
b.   Memiliki Tujuan (Visi dan Misi) yang Jelas
      Manusia tanpa tujuan, ibarat layang-layang yang putus talinya atau seperti perahu tanpa nahkoda. Ia dapat terombang ambing oleh keadaan yang ada diluar dirinya. Padahal, sukses tidak terjadi dengan sendirinya. Setiap sukses harus dibayar dan direncanakan.
      Dalam dunia pendidikan, seorang guru efektif tanpak dalam tujuannya (visi dan misinya). Memang, pada praktiknya banyak guru yang asal mengajar atau asal-asalan. Guru efektif tidak akan asal mengajar. Ia mengemban visi dan misi, yaitu membangun masa depan bangsa dan negara, serta umat manusia.

c. Pandai Membuat dan Menetukan Skala Prioritas
      Manusia efektif bertindak dengan skala prioritas. Ia tidak asal bertindak. Tindakannya selalu diarahkan pada tujuan-tujuan yang jelas dan mulia.
      Guru efektif juga demikian. Kendati pun ia memiliki banyak aktifitas tetapi tindakannya selalu menuntut skala prioritas. Prioritas utama bagi guru efektif adalah masa depan murid-muridnya, bukan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
d.   Berpikir menang-menang (win-win)
      Dalam pola dan hubungan komunikasi guru efektif berpikir menang-menang (win-Win). Ia tidak membiarkan dirinya dirugikan tetapi ia pun tidak mau merugikan orang lain. Dalam situasi sesulit apapun, orang efektif selalu menjunjung pola hubungan win-win. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat 4 pola hubungan, yaitu win-lose (menang-kalah), lose-win (kalah-menang), lose-lose (kalah-kalah), win-win (menang-menang).
      Pola win-lose biasanya digunakan oleh orang-orang egois. Pola lose-win digunakan oleh orang-orang yang minder dan kurang rasa percaya diri. Pola lose-lose dipraktikan oleh orang-orang yang berputus asa dan tidak berdaya untuk membuat pilihan terbaik. Orang efektif, menggunakan pola hubungan win-win (menang-menang).
e.   Senang Bekerja Sama
      Guru efektif mengembangkan prinsip kemitraan dalam menunaikan tugasnya. Ia tidak memandang dirinya sebagai orang super. Ia juga tidak memandang peserta didiknya lemah. Guru efektif memandang setiap manusia sebagai sosok yang memiliki potensi dan mampu memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk meraih sukses dan dapat mengabdi kepada masyarakat disekitarnya.
f.    Memerhatikan Orang Lain
      Guru efektif memberikan perhatian yang lebih terhadap siswa dan profesinya. Ia tidak mengedepankan tuntutan untuk dirinya. Guru efektif memilih keyakinan bahwa bila ia memrhatikan siswa dan profesinya secara maksimal, ia akan mendapat perhatian yang sebanding.
      Guru efektif memiliki keyakinan yang kuat bahwa tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan amal hambanya, sekecil apapun amal itu ia berikan. Oleh karena itu, guru efektif selalu menanam investasi kebaikan pada siswa dan tugas profesinya.



g. Selalu Belajar Sepanjang Waktu
      Guru efektif sangat memahami bahwa gergaji akan tetap tajam apabila terus diasah. Ia sadar bahwa belajar merupakan tuntunan mutlak agar pemikiran dan ilmunya tetap tajam.
      Sebaliknya, guru yang tidak efektif malas belajar. Ia menganggap bahwa dirinya sudah pintar sehingga tidak perlu belajar lagi. Padahal, berhenti belajar berarti memutuskan diri untuk mundur dari gelangan kesuksesan.

 



































BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan di atas, maka sebagai penutup, berikut ini penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut.
            Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai problema yang sangat mendasar dan multidimensional, yaitu antara lain rendahnya kualitas pendidikan secara umum, anggaran yang tidak sesuai atau rendah, sarana dan prasarana yang kurang memadai. Selain itu masalah keguruan juga mengalami berbagai problematika yang tidak kalah peliknya antara lain rendahnya kualitas guru, kurang profesional dalam melaksanakan tugas keguruan, juga kurang efektifnya proses pembelajaran yang terjadi.
            Ada berbagai solusi dalam mengurai permasalahan pendidikan dan keguruan di Indonesia, antara lain Melakukan Perubahan atas Kesalahan Pendidikan, Efesiensi Pemanfaatan Anggaran Pendidikan, Depolitisasi Kebijakan Pendidikan, Restukturisasi Organisasi, Memposisikan Penjabat Pendidikan adalah Mereka yang Profesional, Peningkatan Profesionalisme Guru, Peningkatan Kelayakan Mengajar dan Kesejahteraan Guru, dan Membentuk Kebiasaan Guru Efektif.





 

















DAFTAR PUSTAKA



B. Uno,Hamzah. 2011. Profesi Kependidikan.Jakarta: Bumi Aksara.

Kusnandar. 2010. Profesi Keguruan. Jakarta. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukadi. 2006. Guru Powerful Guru Masa Depan. Bandung: Qolbu.


(http://isaninside.files.wordpress.com. diakses tgl. 8 April 2011).

1 komentar: